Kategori Masyarakat Miskin Di Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai garis kemiskinan (GK) pada September 2022 naik sebesar 5,95% dibandingkan Maret 2022, dari semula Rp 505.469 menjadi sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan. Ini adalah kenaikan tertinggi dalam 9 tahun terakhir.
"Peningkatan garis kemiskinan di September 2022 sebesar 5,95%, ini merupakan peningkatan tertinggi dalam 9 tahun terakhir tepatnya sejak September 2013. Saat itu GK naik 6,84% pasca kenaikan harga BBM," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono, dikutip Kamis (19/1/2023).
Namun, patut diketahui, Garis Kemiskinan (GK) merupakan suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Kenaikan harga eceran komoditas pokok ini, tentunya berpengaruh terhadap jumlah pengeluaran masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka. Ini erat kaitannya dengan GK.
Jika dihitung dari besaran GK Rp 535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Ini artinya, warga negara Indonesia dengan penghasilan di bawah Rp 535.547 per kapita masuk kategori tidak mampu.
Dari data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang per September 2022. Angka ini naik naik sebesar 0,20 juta orang.
Menurut BPS, kenaikan tingkat kemiskinan selama periode Maret hingga September 2022 disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebagai catatan, BBM dan beras merupakan komoditas yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Penduduk miskin memang tidak memiliki kendaraan. Tetapi kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga pangan.
"Jadi sekali lagi penyesuaian harga BBM itu berdampak pada harga-harga yang harus dibayar oleh kelompok penduduk miskin dan ini berpengaruh pada daya beli penduduk miskin," ujar Margo.
Foto: Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)
Adapun, dalam laporannya, BPS mencatat peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Dimana Garis Kemiskinan Makanan (GKM) memberikan kontribusi terhadap total garis kemiskinan sebesar Rp 397.125 (74,15%), sedangkan kontribusi Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) hanya sebesar Rp 138.422 (25,85%).
Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan September 2022 baik di perkotaan maupun di pedesaan, pada umumnya hampir sama. Beras masih memberi sumbangan terbesar yakni sebesar 18,98% di perkotaan dan 22,96% di pedesaan.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) menetapkan basis perhitungan baru dari garis kemiskinan ekstrem. Basis GK tersebut berubah menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau Rp 32.745 per hari (kurs Rp 15.230 per US$). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di US$ 1,90.
Bank Dunia juga mengubah ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class) serta kelas berpenghasilan menengah ke atas (upper- middle income class).
Foto: Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)
Batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi US$ 3,65 atau Rp 55.590. per orang per hari dari sebelumnya US$ 3,20 atau Rp 48.740. Sementara itu, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi US$ 6,85 atau Rp 104.325 per hari dari sebelumnya US$ 5,50 atau Rp 83.675 per hari.
Menurut hitungan baru Bank Dunia tersebut, setidaknya ada 13 juta warga Indonesia yang turun kelas dari kelas berpenghasilan menengah ke bawah ke kelompok miskin. Jumlah warga miskin Indonesia meningkat menjadi 67 juta berdasarkan PPP 2017 dari 54 juta menurut PPP 2011.
Jika menggunakan batas kelas menengah ke atas, maka jumlah warga miskin Indonesia akan bertambah 27 juta menjadi 168 juta.
Saksikan video di bawah ini:
Video: Strategi Kemenko PMK Atasi Stunting Hingga Kemiskinan
PROBLEMATIKA BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DI INDONESIA
Bantuan hukum guna terwujudnya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, tidak dapat dipisahkan dalam arti bahwa bantuan hukum memiliki tujuan untuk terciptanya penegakan hukum dan dapat bermanfaat dalam sudut pandang sosiologis dan bermanfaat unuk masyarakat. Oleh sebab itu pemerintah ingin mewujudkan mekanisme bantusan hukum untu masyarakat yang bermanfaat secara sosiologis dan adil secara filosofis.
Tujuan negara Republik Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, dalam rangka mencapai salah satu tujuan Negara untuk memajukan kesejahteraan umum, Negara memiliki kewenangan mengatur masyarakatnya terutama dalam bidang penegakan hukum dengan tujuan terciptanya perlindungan. Perindungan hukum yang dimaksudkan tersebut merupakan perlindungan hukum yang bermuatan Pancasila dan akan selalu berkaitan dengan hak asasi manusia yang diharapakan dapat terwujudnya “Negara Indonesia berdasarkan hukum”.
Perlindungan hukum dengan prinsip Pancasila salah satunya adalah memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengakuan akan hak asasi manusia dari setiap individu atau warga negaranya. Bantuan hukum, perlindungan dan pengakuan akan hak asasi manusia merupakan salah satu usaha dari pemerintah dengan tujuan terciptanya penegakan hukum, yang merupakan salah satu bagian dari proses dengan tujuan mendapatkan keadilan.
Penetapan tersebut diikuti dengan pernyataan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum yang dikenal dengan prinsip equality before the law yang termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekuensi dari prinsip equality before the law, seseorang berhak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum, termasuk bagi rakyat miskin yang sedang bermasalah dengan hukum. Terlebih lagi, negara Indonesia secara kontitusi pada Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar diperlihara oleh negara. Makna kata “dipelihara” bukan sekedar memberikan kebutuhan akan pangan dan sandang saja, namun juga termasuk kesempatan memperoleh akses hukum dan keadilan (access to law and justice).
Selanjutnya, salah satu asas yang berkaitan dengan bantuan hukum di Indonesia telah dinyatakan dengan jelas dalam Hukum Acara Pidana positif Indonesia, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Dalam Penjelasan Umum Bagian 1 angka (3) huruf (e), ditegaskan asas bantuan hukum bahwa “setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”. Asas bantuan hukum dalam Hukum Acara Pidana positif Indonesia tersebut merupakan asas memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan kepada kemanusiaan manusia secara seutuhnya baik secara moril, maupun materiil yang dalam hal ini sering diistilahkan sebagai martabat, atau apa yang disebut dengan hak-hak asasi manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mengeluarkan suatu regulasi untuk merealisasikan prinsip dan tujuan tersebut melalui Undang-Undang 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutanya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum). Substansi dari undang-undang tersebut mengharuskan para penegak hukum terutama advokat sebagai pemberi bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum secara gratis bagi rakyat miskin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban secara normatif bagi advokat sebagai officium nobile sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut Undang-Undang Advokat) untuk memberikan bantuan hukum bagi setiap warga negara saat mereka menghadapi masalah hukum tanpa memandang latar belakang individu, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosial, ekonomi dan gender.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Konstitusi mengamanatkan bahwa setiap orang mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia. Maka dari itu pemerintah bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Amanat dari konstitusi tersebut ditindak lanjut dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dimana dalam Undang-Undang ini mengenai peluang terhadap warga negara yang sedang diatur ketentuan perlindungan hak menjalani proses hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Dengan klasifikasi penerima bantuan hukum adalah setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.
Saat berhadapan dengan hukum, tidak semua masyarakat memiliki kemampuan pembiayaan bantuan hukum. Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) kembali menjalankan program bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin di tahun 2022. Bantuan ini disalurkan melalui 619 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah lulus verifikasi dan akreditasi sebagai pemberi bantuan hukum. Bantuan hukum ini menunjukkan peran negara dalam melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan akses terhadap keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. 619 OBH ini berkewajiban memberikan bantuan hukum litigasi dan non litigasi kepada masyarakat. Perkara litigasi diselesaikan melalui pengadilan, sedangkan perkara non litigasi diselesaikan di luar pengadilan, misalnya melalui negosiasi atau mediasi. Tujuan utama program bantuan hukum adalah memberi pertolongan kepada masyarakat yang membutuhkan, bukan mencari keuntungan.
Hak atas bantuan hukum merupakan salah satu hak terpenting yang dimiliki oleh setiap warga negara karena dalam setiap proses hukum, khususnya hukum pidana, pada umumnya setiap orang yang di tetapkan sebagai tertuduh dalam suatu perkara pidana, tidaklah mungkin dapat melakukan pembelaan sendiri dalam suatu proses hukum dan dalam pemeriksaan hukum terhadapnya. Dengan demikian tidaklah mungkin seorang tersangka dalam suatu tindak pidana melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri dalam suatu proses hukum pemeriksaan dirinya sedangkan dia adalah seorang tersangka dalam suatu tindak pidana yang dituduhkan kepadanya tersebut. Oleh karena itu terdakwa berhak memperoleh bantuan hukum.
Pemberian bantan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi permasalahan hukum dilakukan oleh lembaga yang telah terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan lingkup permasalahan hukum yang dapat diberikan bantuan hukum adalah hukum perdata, pidana, tata usaha negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, tata usaha negara baik litigasi maupun non litigasi.
Beberapa permasalahan yang dihadapi para instansi dan lembaga terkait dengan pemberian bantuan bagi masyarakat miskin diantaranya adalah sulitnya memperoleh Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), atau adanya dorongan untuk tidak didampingi oleh Penasehat Hukum karena ketakutan akan hukuman yang justru lebih berat bila didampingi (pidana), dan sebagainya. Disamping itu juga belum sangat rincinya pengaturan kriteria miskin sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran, untuk itu diperukanya pengaturan terkait status miskin. Hal ini agar pelaksana di lapangan memiliki panduan yang tegas dalam menentukan penerima bantuan hukum yang akan ditangani.
Selanjutnya juga terdapat problematika terkait dengan keterbatasan anggaran penyelenggaraan bantuan hukum yang dialokasikan kepada kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM sangat membutuhkan peran serta dari pemerintah daerah. Adanya keterbatasan anggaran yang ada dan perlunya peran serta pemerintah daerah untuk mendukung anggaran bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu untuk dapat dialokasikan dalam APBD sebagaimana diatur dalam Undang-Undanag Bantuan Hukum Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2), bahwa daerah dapat mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD dan ditetapkan dengan Perda.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan mencoba untuk menganalisis permasalahan terkait bagaimana penerapan pelaksanaan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Oleh karena itu, judul penelitian yang diangkat adalah PROBLEMATIKA BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DI INDONESIA.
Permasalahan dan Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah:
Bagaimana Problematika Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia?
Bagaimana peran Pemerintah Daerah dalam memberikan Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin?
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, batasan ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam penulisan penelitian ini adalah Problematika Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dilaksanakannya penulisan ini adalah:
Untuk menganalisis dan memahami mengenai Problematika Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia.
Untuk menganalisis dan memahami penerapan peran Pemerintah Daerah dalam memberikan Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin.
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
Secara teoritis, diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya, ilmu hukum pidana, dan khususnya terhadap permasalahan hukum yang terkait dengan Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin.
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur bagi masyarakat luas pada umumnya dan bagi praktisi hukum pada khususnya, serta memberikan masukan dan informasi kepada pihak-pihak dan lembaga terkait.
Setiap penulisan mempunyai kerangka teoritis yang menjadi pedoman, dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh penulis. Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan, landasan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penulisan atau penulisan.
Penulis menggunakan teori tujuan hukum dari Gustav Radbruch. Teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dikenal sebagai tiga nilai dasar hukum yang meliputi keadilan (filosofis), kepastian hukum (yuridis), dan kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis). Peran hukum dalam persoalan keadilan adalah mewujudkan ide keadilan ke dalam bentuk konkret agar dapat memberi manfaat bagi hubungan antar manusia Selain apa yang telah Gustav Radbruch ajarkan mengenai tiga nilai keadilan diatas, bahwa Herman J.Pietersen juga menyatakan tujuan dari hukum adalah to serve jusctice, to preserve society’s systemic integrity and stability and, utimately, to promote the general good, well- being.
Pemidanaan terhadap wajib pajak badan haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dalam negara yang memerintah bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Teori Gustav Radbruch apabila dihubungkan dengan konsep negara hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sejalan dengan tiga nilai dasar hukumnya yang meliputi keadilan (filosofis), kepastian hukum (juridis), dan kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis). Pemberian sanksi baik pidana penjara denda dan atau sanksi administratif kepada pelanggar wajib pajak badan tentunya juga garu memenuhi unsur suatu keadilan, kepastian hukum, dan kebermanfaatan.
Keadilan dalam literatur sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (un-lawful, lawless) dan orang yang tidak fair (un-fair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebaha-giaan masyarakat adalah adil.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan. Ukuran keadilan sebagaimana disinggung di atas sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah nya, dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna yang masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling dalam, bahkan Hans Kelsen menekankan pada filsafat hukum Plato, bahwa keadilan didasarkan pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik.
Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu sendiri, di samping kepastian hukum dan kemanfaatan. Mensikapi adanya beberapa permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia yang kemudian dituangkan dalam beberapa putusan hakim, sehingga membawa pada satu perenungan bahwa terminologi keadilan yang notabene ada dalam kajian filsafat dapatkah di- jadikan sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya.
Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama.Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa didunia dan prinsip-prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).
Menurut Aristoteles keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Sedangkan menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara dua pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang luas tidak hanya sebatas perjanjian dua pihak yang sedang mengadakan kontrak bisnis, sewa-menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian disini juga perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa, peraturan perundang- undangan yang tidak memihak pada satu pihak saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.
Berdasarkan uraian diatas, maka alur pikir pada penulisan penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian. Metode penelitian ini dilakukan dalam memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisanya.
Jenis Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris:
Penelitian dengan penggunaan metode normatif merupakan tipe penelitian dengan analitis deskriptif, yang mana salah satunya terdapat data sekunder yang bersumber dari buku, jurnal, artikel dan situs internet. Dalam jenis penelitian secara yuridis normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari teori-teori dan konsep-konsep serta pandangan-pandangan untuk memperoleh data sekunder dengan cara menghubungkan peraturan-peraturan tertulis pada buku-buku hukum yang erat kaitanya dengan permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
Jenis Penelitian secara yuridis empiris yaitu, pendekatan secara langsung untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan cara melihat kenyataan secara langsung berdasarkan informasi dan penulisan lapangan serta wawancara dengan beberapa narasumber yang berkompeten menjawab permasalahan dalam penulisan tesis ini. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas. Metode penelitian seperti ini biasa dikenal dengan istilah metode penulisan secara empiric library, yaitu prosedur penulisan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Sumber dan Jenis Data
Sumber data adalah benda, hal atau orang tempat data atau variabel melekat yang dipermasalahkan. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data primer dan data sekunder:
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian lapangan berupa pengamatan dan wawancara yang berhubungan dengan judul penelitian yang dibahas.
Data sekunder yaitu, data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki, antara lain:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum; dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penulisan.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, karya ilmiah, bahan seminar serta jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penulisan yang dilakukan.
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan data
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mencatat dan mengutip buku-buku dan referensi serta menelaah perundang–undangan juga dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan penulisan ini. Metode ini dilakukanguna memperoleh data sekunder.
Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara para narasumber atau responden. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan menyiapkan pertanyaan terlebih dahulu, jawaban diberikan secara lisan dan terbuka. Metode ini dilakukan guna memperoleh data primer.
Data yang telah diperoleh dari penulisan kemudian semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Editing yaitu pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa dan menelitidata yang telah diperoleh apakah telah cukup atau masih memiliki kekurangan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti
Interpretasi yaitu menghubungkan, membandingkan serta mendeskripsikan data ke dalam bentuk uraian, untuk kemudian dianalisis untuk memperoleh jawaban dari permasalahan
Sistimatisasi data yaitu data yang telah diuraikan tadi kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan pokok–pokok bahasan secara sistimatis.
Data yang telah diperoleh sebagai hasil penulisan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan penulisan yang telah dilakukan kemudian dikemukakan dalan bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Setelah analisis data dilakukan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif guna menjawab permasalahan berdasarkan penulisan.
Abduh, Rachmad, and Faisal Riza. "Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin yang Mengajukan Gugatan Melalui Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama." EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial 4.2 (2018). 23-43
Abdul Kadir Muhammad, “Hukum dan Penulisan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 73
Agus Triono , Rodhi Agung Saputra, The “No Viral No Justice” Paradigm In Getting Access To Justice In Indonesian Community, IOSR Journal Of Humanities And Social Science, 27.8, (2022), 50-55
Amin, Subhan. "Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat." El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis 8.1 (2019): 1-10.
Angga, Angga, and Ridwan Arifin. "Penerapan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Kurang Mampu di Indonesia." DIVERSI: Jurnal Hukum 4.2 (2019): 218-236.
Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1 tahun 2010, hlm. 23
Arif, Andry Rahman. "Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Terdakwa Yang Tidak Mampu Dalam Perkara Pidana Di Kota Bandar Lampung." FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum 9.1 (2015).34-43
Baital, Bachtiar. "Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 3.2 (2016): 137-152.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga, Citra Aditya Bandung, 2013 hlm 67
Budijanto, Oki Wahju. "Peningkatan Akses Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin (Intensify Access of Law AIDS to the Poor)." Jurnal Penelitian Hukum DE JURE 16.4 (2017): 463-475.
Gayo, Ahyar Ari. "Optimalisasi Pelayanan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 20 (2020): 409-432.
Hans Kelsen, General Teory of Law and State, Translete by Anders Wedberg , New York: Russel and Russel , 1991, dikuitip dari Jimly Ashidiqqie dan M ali Safa’at, Teori Hans KelsenTentang Hukum,ctk. Kedua , Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm 39-40
Hariyanto, Hariyanto. "Peran LBH Kampus di PTKIN dalam Bantuan Hukum terhadap Masyarakat Miskin." Al-'Adl 10.1 (2017): 68-83.
Kusumawati, Mustika Prabaningrum. "Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Access to Justice bagi Orang Miskin." Arena Hukum 9.2 (2016): 190-206.
Maroni, “Construction of The Bureaucratic Criminal Justice Based on The Public Service”, South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, 7/4 (2015), hlm. 33
----------, Nenny Dwi Ariani, “Human Rights Enforcement Through The Implementation of Public Service-Based Criminal Justice”, Proceedings of The International Conference on Environmental and Technology of Law, Business and Education on Post Covid 19, ICETLAWBE 2020, 26 September 2020, Bandar Lampung, Indonesia, hlm. 2
---------, Nenny Dwi Ariani, “Humanistic Criminal Law Enforcement to Achieve Spiritual Justice, Journal Legal, Ethical and Regulatory Issues, 21/2 (2018), hlm. 1
--------, Sopian Sitepu, Nenny Dwi Ariani, “Humanistic Law Enforcement As The Application Of The Value Of Justice, Expediency And Legal Certainty Based On Pancasila, Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 22/4 (2019), hlm. 2
Maryanto, “Refleksi dan Relevansi Pemikiran Filsafat Hukum Bagi Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Vol. 13 (1) tahun 2003, hlm. 52-54
Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Ctk. Kedua, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 217-218
Rahmat, Diding, Gios Adhyaksa, and Anthon Fathanudien. "Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia." Empowerment: Jurnal Pengabdian Masyarakat 4.02 (2021): 156-163.
Kabar Latuharhary – Masyarakat miskin kota adalah salah satu kelompok yang hak asasi manusianya sering terlanggar. “Berbagai situasi dan kondisi pemicu serta ketidakcakapan pemerintah dalam merespon hak-hak warga negara, akan menimbulkan problematika dan isu pelanggaran HAM di masyarakat, dalam hal ini khususnya masyarakat miskin kota,” ucap Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam acara Webinar online Lomba Ilmiah Mahasiswa Sosial Politik Universitas Indonesia (Limas UI) 2021, "Tergerusnya Hak Asasi Manusia: Suatu Problematika Bagi Rakyat Miskin Kota", Minggu, 26 September 2021.
Bicara HAM, menurut Beka – sapaan akrab Beka Ulung Hapsara -- sebenarnya bicara soal kita. Karena HAM itu, dari sejak lahir sampai kita meninggal, selalu melekat di kita semua dan hanya hilang ketika seseorang meninggal dunia.
Beka melanjutkan, bahwa dalam konteks HAM ada dua hal yang perlu dilihat. Pertama, kewajiban negara dan kedua kewajiban warga negara terhadap HAM. “Kewajiban negara terhadap HAM itu P5, yaitu penghormatan, pemajuan, pemenuhan, pelindungan, dan penegakan. Kewajiban warga negara apa? Hanya satu, yaitu menghormati hak asasi orang lain,” kata Beka.
Lebih lanjut, menyoal kewajiban yang melekat tersebut, jika negara yang mengabaikan soal penghormatan, pemajuan, pemenuhan, pelindungan, dan penegakan HAM, Beka mengungkapkan bahwa hal itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM. Lain halnya, jika warga negara yang melakukan kekerasan atau tindakan pidana, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran pidana atau tindakan pidana. “Jadi, ada pelanggaran HAM, ada pelanggaran pidana, ini yang juga kadang-kadang sangat sering untuk di miskonsepsikan begitu,” tutur Beka.
Menurut Beka, problem HAM di Indonesia antara lain problem soal urbanisasi. Jadi, ketika kita bicara soal HAM, tidak bisa dilepaskan dari konteks atau situasi yang ada. Saat ini, di Indonesia salah satu problemnya adalah rapid urbanization atau urbanisasi yang sangat cepat. Orang-orang kemudian cenderung berpindah dari desa ke kota. Cita-citanya ingin kerja, ingin mendapatkan penghasilan yang layak, kemudian sebagian penghasilannya dikirimkan ke orang tua untuk balas budi, dan lain-lain. Itu mimpi orang. Nah, dari cita-cita yang banyak sekali ini, kemudian berkumpul dan pemerintah merespon hal itu. Mungkin responnya tidak cukup, sehingga muncullah problem-problem di perkotaan. “Akhirnya, karena tidak adil atau timpang, sebagian dari masyarakat itu jadi miskin atau dimiskinkan. Itu problem utamanya disitu,” ucap Beka menjelaskan.
Menilik hal tersebut, saat ini menurut Beka, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak banyak yang mendengarkan suara-suara dari kelompok-kelompok yang lemah atau dilemahkan tersebut. Menurut Beka, masyarakat bagian dari kelompok-kelompok yang tidak terlindungi itu seharusnya diberi kesempatan untuk bersuara. Tidak malah dikriminalkan dan dipinggirkan, bahkan seharusnya dapat dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.
Stigma negatif yang melekat kepada rakyat miskin kota juga menjadi problematika lainnya. “Mereka kemudian dianggap bodoh, manutan atau diberi apapun pasti menerima, dan sebagainya. Itu problem-problem yang melingkupi rakyat miskin kota,” kata Beka.
Lebih jauh, problematika yang ada tersebut kemudian, dapat saling berpengaruh pada situasi dan kondisi di daerah lainnya. Kebijakan yang ada di satu daerah menurut Beka, juga dapat mempengaruhi daerah-daerah lain disekitarnya.
“Misalnya, Jakarta. Jakarta ini kan jadi center atau magnet. Kebijakan yang ada di Jakarta akan mempengaruhi daerah sekitarnya,” kata Beka. Jakarta dengan mobilitas orang yang sangat tinggi, menurut Beka akan mengakibatkan berbagai problematika yang dapat mempengaruhi aspek-aspek pemenuhan HAM bagi daerah-daerah lain disekitarnya.
Narasumber lain Wirya Adiwena Deputy Director Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat miskin perkotaan itu, perlu didorong oleh negara dan akan saling terkait satu sama lain. “Catatan dari saya, saat kita membicarakan konteks HAM dalam masyarakat sipil perkotaan, selain kita tidak boleh melihatnya dalam perspektif kolonial, diskriminatif terhadap masyarakat miskin perkotaan, kita juga harus melihatnya dalam konteks satu sama lain. Saat kita ingin bicarakan soal masyarakat miskin perkotaan, jangan hanya lihat isu per isu saja, tapi pastikan kita melihatnya secara interconnected,” ujar Wirya Adiwena.
Narasumber lain yang hadir dalam webinar tersebut Mamik Sri Supatmi Dosen Kriminologi UI mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu bentuk struktural dari pelanggaran HAM. “Kemiskinan terdiri dari penolakan sistematis atau penolakan struktural terhadap kebebasan dasar yang mengakibatkan individu tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka dan rentan terhadap pelanggaran HAM,” ucap Mamik Sri Supatmi.
Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2024 sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan. Itu merupakan batas pengeluaran untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak.
Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi mengatakan terjadi kenaikan garis kemiskinan sebesar 5,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal itu dikarenakan pengaruh dari kenaikan harga komoditas pokok yang banyak dikonsumsi oleh orang miskin.
"Garis kemiskinan pada Maret 2024 sebesar Rp 582.932 atau naik 5,90% dibandingkan Maret 2023," kata Imam dalam konferensi pers, Senin (1/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dilihat lebih rinci lagi, garis kemiskinan di perkotaan mencapai Rp 601.871 per kapita per bulan. Batas tersebut lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan di perdesaan yang sebesar Rp 556.874 per kapita per bulan.
"Jika dilihat perubahannya, kenaikan garis kemiskinan perkotaan dari Maret 2023 ke Maret 2024 yaitu sebesar 5,72%, atau lebih rendah dari kenaikan garis kemiskinan perdesaan," ucap Imam.
Secara rata-rata, garis kemiskinan per rumah tangga pada Maret 2024 sebesar Rp 2.786.415 per bulan. Ini merupakan rata-rata minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak dikategorikan miskin.
Penduduk dikategorikan miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM).
Berdasarkan komponen pembentuknya, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Peranan komoditas makanan mencapai 74,44%, sementara komoditas bukan makanan sebesar 25,56% terhadap garis kemiskinan.
Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan yakni beras; rokok kretek filter; daging ayam ras; telur ayam ras; mie instan; gula pasir dan seterusnya. Sementara komoditas bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar adalah perumahan; bensin; listrik; pendidikan; perlengkapan mandi; perawatan kulit (muka, kuku dan rambut); sabun cuci; serta pakaian jadi perempuan dewasa.
%PDF-1.4 %âãÏÓ 547 0 obj <> endobj xref 547 27 0000000016 00000 n 0000001680 00000 n 0000001830 00000 n 0000002338 00000 n 0000002452 00000 n 0000002564 00000 n 0000002680 00000 n 0000010741 00000 n 0000017440 00000 n 0000024217 00000 n 0000029111 00000 n 0000029289 00000 n 0000029467 00000 n 0000034484 00000 n 0000042663 00000 n 0000043201 00000 n 0000043714 00000 n 0000043820 00000 n 0000044393 00000 n 0000052420 00000 n 0000060804 00000 n 0000066135 00000 n 0000066213 00000 n 0000066489 00000 n 0001350913 00000 n 0000001493 00000 n 0000000836 00000 n trailer <<7D6214FABCC9421D963D42BE13039708>]/Prev 7933542/XRefStm 1493>> startxref 0 %%EOF 573 0 obj <>stream hÞb```b``™ÊÀÊÀ |•AŒÄ€bl,«6ȸµðq °440-`à|À�¡R¥Óš|Þù®½>×gÝ\®JÞid€ƒÿ‰ý^oœuf’SnùÝÂiÌ×g±(÷Ú¿^zìFÛ<¯ÙÙ+·ËÖ–Ir<˜—™Ø§ÌoòRÇ«}Ö~îمׯ'Næ7yÐاU©i˜{<~×&¶Y«·˜EÄߘ©ìxè÷üÒc‡R[?V.»Sú{ý…ÌU»�S[ßT‹M2Ø°ïùÝÂmñâ³.Ǽ\µ;º ,’ÚzøÔ™(�»óbÛ¢¯¿ÛÏиlÕ[‹Ëg6‹Íó’Xµ¢r)ï›”…Ê@Ó»Ìî”~¹¡ÊeÍÝí²u¯?pdz<ö7|SæÁÀâ––ò[GÄ‹Œ †±‹khZZLœ�!-Âf1AÊX€4!¨˜ „òA†AÌfR‚)ˆ &%cc‹Ž"cBÊÔÝ€´8[€EìDx?0ð20¤00'ðÏoHßÂìž ô€�yƒ,ƒÚ6ÆßïØyXÿ3üxÁ¡Ð ©ÅÀÈÀ�í—¢ö:Ÿ CÔÅKr%Øç0½k êdœÀ�ÆÀô‰AØ€õL«ƒz#ƒuChÓ&Á–‰ º Œmœ˜Y˜¦1ˆ|`XÌÀbÀÈÐÀp‘ËÊV´i` U[g¨äVÙÄ ÍÒÏW endstream endobj 572 0 obj <>/Filter/FlateDecode/Index[128 419]/Length 36/Size 547/Type/XRef/W[1 1 1]>>stream hÞbb*c`b``Ń3Î ƒÑøÅ£ñ1Òâ À œÃÕ endstream endobj 548 0 obj <>/Metadata 126 0 R/Pages 123 0 R/StructTreeRoot 128 0 R/Type/Catalog/ViewerPreferences<>>> endobj 549 0 obj <>/ExtGState<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC]/XObject<>>>/Rotate 0/StructParents 2/TrimBox[0.0 0.0 595.276 841.89]/Type/Page>> endobj 550 0 obj <> endobj 551 0 obj <> endobj 552 0 obj <> endobj 553 0 obj <>stream H‰|WË®%EÜŸ¯¨¸Õù~HˆÅÐbÁ¢Åb>à Ĺ34ÿ?agVÝ�Zês#+ÓvÚÛùáÛ_?ÿ÷�ŸŽ¯¾úðÃ7ß<Âñõ×ÿøøÍñøýŽÒÆYs=jœgÌñÈ=Ÿ¹–ã�Ÿÿ:þ�-¾û1Ÿÿ|ÔÏ0S¨-CBÀÆr–ÒòíxÁ§RfhmÉ+9Ìãõíñáû·p|üÏãÓãŸ?@ã'éG�õL½£ÄsÌwÊ"•}øvûôç8Â+þK8úÛ¶(qÆsŽËøÔù›)ïçGÄÈÆ)žO'kJgëùˆ1ž1ö£â®/þ«cÿÏÀpØ¿ß¿QEÈ(gˆåãì#f^šÞí¬#Ã5õŒô© ÷ztÙû>v 2»P©õx}ôs´$Ü3$ø!4 pB›�„ƒõ³G耱iþrïó‘Îò µÞo¨÷õ-�ÃÿÓ·�^ 0Ÿ)Ãyù,Ѿvø/Ÿ-šºV“öÇU{§£\ã 1QÖs"~88ÝUpP5G¶%Uɇo½¡eÀÍ寸Uêô#ü‚—‚K×ûÔç{�¸0ºC‚ø$³«Ä&ØL]EV½r{œö½•Äï)v�ñ¼Ã›µ=¹¿R‘¸0-–LBxÔÂÜ2]‚…:š9·O~ÏøQaˆíÜm–ºÂ4zõ€„¶s°Î±CÊß@Ï¡—ÎPëß-ø�yæpåçx�vJ ¥iÉT‹<ÆÜ6[2=ÛÏ«¹ˆÇú™r¹Eð%œ³uðéùøéÌt þŽ¤yãÇ2劈³Oâ &ÈP„è8IIÜ¢3õ±e}Éó(µ´µ×N\(EÅNFª6ó^˜¾º ¡ C«Pæ‰x&äPɶ*2*AÑWnš¶W[S][§ Štr]b¥$çDT’ïÍe w‰Íf_Uí9ó(BÝ-!™¹üX¢‡Î’e+�r&1£Ý÷ŒFG¾ÉÔ ÛÞd¹íø>ÀÒzÁy¶™îp’e™SŽÈUù=£~FFj.ôú W‹ &FMKø£¿Ã�ÉO£xͺ%»;M-d!·k¾Ì žw+™…±Ý0é¿Ï³<;‚ &¸íu;‘ºf ;¹BÁÓ$(RSªÌ EìJì¼è]ÊyK; žä©¡Âˆ®+®áh>о&I•Îz¤lɇK)ô‰É=˜ñÈšÄú8D(D~!´ÇÂB´0œÛtœl”uø‚C³ú›«Q¼!Í$‹³8®Š@G¨Z½î¼ðr± «Ô”°;^Uî8ϲŠ‰|‰éVE�$ÙºP.])ã] ãV–SUwa$ƒEÕ1º*EeyXZÅ(Ì2ê¥éC‚ÎáÕlMÇ2\©ÿº.%¤:•½M WFPcc,±Pít™È,Í^«néA° Y-kSÜ�g‚7uº]¤o¨äªÞ¸�0:•âÂ9©Eù¦Ôa¡�º‰3™aY~瀴¦Œ¡
@àË´†Ì²ÃúØüÃ4jÉäl$Óç{oìstäüz÷„ÊÕÚA…ÔÑKç&%`ñVn¬ÄÂðfOZ¦�HõMË �–/Z.l´¤¬1�–Ô$F;3iˆå© +óL+?öœœû†NÏí€/ðªù+îcš¸z|‡P|,!éêjíŠ{Ôˆ�RV¸ÊQÌBú¦f{…az°NŠY4†r99à'T‹x –:æZ”5hñÈû<Å^th',È}ÛØÜþ¼0GV¨ÂS-fsI†‹“ANöÇ÷�ÕõÇÓGæˆrAl“C½¾ƒ4þ–ÈZGM·ù9ûã:ý‰Lò6”/„›mÆ(‰ÑÔˆ¥½ qÜu«Íží&§X—CÞ»çrWW/…»ÒÉ8äõèÛN×A‹ƒ¢BÃÐÍqHr"{,TT‹µWõÇöòúH¹áLjÜEc¾R]ÁÝÅ ¶�0®Ò·C)ÌÎóóã“?R#©¾û1Ÿÿ¼=VS';Pt²�ív¿V™ßèÁÆèÒ5%ñeÁŸ±;~joa.D Sz?Æ.&˜8â,6OGMQ„U*È T-Îá>EÃÓBÏ…’^A‚ÜzƒÃ¨‰x’?¦hgª ^/÷�(¸1™Ú´!î•5¦|ižC×DVØs½U¯Î$fV éÕ›=æ¿Âª±•S2*Ú´®Ôz«iRì~0YOãóÁĨîB-,ÛQÇ¥t7ðB¿À ¨+ˆ4öãòÈ�DV%8~2â@,7¸>guÕÉ Äêüª½a ±r(2ªM{DÍÒ˜¢ ³fDd–.…Ibô±ž÷…ä‰ÄÙÝf ö�tµn^°k¾îÁÒ¾ƒmbÒȾM¶x%’n‚Fjydg9…¡pŒŽŽäaKq„y¸Zö¸R¨*Ib\cˆ{‡ººáç —iÔ@�A©ñ ³ße%$�ºQŒ¦×°çåóZ°¸»(Í5”5|ž�ó/SèífÇQ¦òßáä´e‡¿ lJ¾¥Í‘óúXë´%ÖÙ ô&ê�_Lž±è§`qÐÁËóBöÔ±ðŽÝÒ0ÀˆÖ”%,ZfGÓàsÃ¥f¡±T›âkã`®ÞbÃ#8 M+lnV›‚Ý5“©Xa ¬ªuáYäÕO¾TÛ•Á—ò¨ašM¯µy}Gi®: Ã!lÈV ƒÕFEžõäqц^uÒòþ ³@22ƆÐ�DGJ§¼.…»¶KðÖà„¥)d…P½n-‡ õ—Þ¡n®÷̨û+F†B½kà$ºîcøÅ Ê:º#ñ.R·†�¹+¥ö‚WßE‚lsúb ]�/Ý¥ž-åN©aÑØÆÅ)ÎæïÂÐQË�CÅ
ãÕÚ6Ü�Œ}¹P�¦§#JënéKW}…Ðõ†.Þ²q™Æjêœ3‡l‡…Íø²Y‘óiQIOv–�êmª¥NM³2À.•ÕpÜ!ÊM-7A¸ÙC¢ýò^:¬dÙL¡JA×Õ@¡Dk•ïš•ûNò\)Ö„,M3m_Õn ·™(íײ3ã’*ÅY©Ú �P+Ͷ‘p7»…C².h?ˆ¯©“Öl…ruªÁÔ,�P0 .®êâ.ô²L›naèe÷Æ8¡ðнežfôì×–ióµüÚ„¶KÔ–—X±˜x˜¾Ÿpäá Ùôó'óu2�Z¬ªµÄ6›hÃóÌЪÍ?®õ\¤¯µ5�¶ò[>n?xXÈÖ|´'µ; À„ TѤ[E‡!ݧ,ƒ_‘òŠ_>µbQ¼%Ó(x®—§UŽd5 ²ht'uŽvµÛÓ‰D0ù,Âõû(œ|•oŒC#(Lñ•1oT{u“ÅgÍÆÊ¢”X�é‰Rœ´ïXy?E¥o_ž²ÄäŠ9‡…ö_Å^×Ø.¼ùW‹æÁ-Ù1¿á˜ÓAœF-u§ž“/¶2±©úA)¦qì•ßœF~íðQȨf E»Þm’ôYyÐœ›G”}ü½ÖŸ=@,]Ѧ¾¤P¸*e£O¼k8ùD:óíi1Š/E<©Þ-Öᇯ_ÕÇÌ”nDÕÔ£æ:Ÿ†åÜÒÖûâÙÎÚ Õ~P䃘tk¬`Cñêôyš_q\›)Ç3x-ñ¸Ë® :0ñ"Ç5ÜÇÔ…b׉‰ 2µð9äÝAæ®õË7†Ô(Ë_ŸÖ|—4ñ|ÿs¸º&‹ä}¤Õ�·ÅÇ»ˆ�¾~pÈ�ßæ3 MUß›½I2ÌG{îÉêû¸Í=PVÅĤÏEHÑRÎÔ$ÔâR˜d\¹DY)l[“²ÛW)÷F:Oe•>|3™¯Æ§ìcßfÓ¼–3é²O«éFѱHÌ©¶JóÎ|TÈ9.QVåÚÎs×¾v<†‰}k~[ª7›ÕH8ör\DÛváw¡%†M¥å;v)Øø¡[ç}�Bì³uØä0ò=å_}lä÷źø~ŽGç×L¥@Î×ýíÿºÿ ûª�™ÛúbBÌO§íüÍFŒŒ«|â¬a,5-h÷ä,gý�Ô�ÏÇþC^�þ½ý€˜›f^›Œª9ƒªK¤»¨ìöþTº _V÷¼¡V–çííýºÿ7WGÞ–/H®3Qäß�S#½®ÛÐÈ̘{.C •µbhŠ™.XƵ†Ïƒ±nŒ‹,ƒkî§]“©â'h¯ëì»âË3¾ÛûÜöÇœèÝÏ™�+iRò9.PSž:»û5V�1SÔ¦ý²—áâ:Ūˆ¥µSoŒaΛ±ÏÉ+“—à^vZ&v…Q¨Ç·Æ˜B2{Áá… (Vu[ÉöAßHé¶ï²<·˚ìæû`&îYMCZì´©[w Žä=l§ð•ü„¾Odîa…çñÏ׆š1D»nnørT5zñÖ*úâ Iè�V£wvqʲ쵈^AÙ¤–!_½câÓ/ï æ²›×æsyœšeÓT®H3•-’Z»ãÔP‘,7’�XH[ü]c‘ÝLÈШbÄÄ‘‡)ÿbt¯ž~b³áÌ%£: WkiLÍ€”-œ…œaL.'ËU_†Ô¿|Ž#WQ~9×:ÜÀQßRœj‰jzÃ4‡í‹oà’1rÜó{<…·xko%CrÍ2Ò\€‡”FÁ¡róR%��ËЩ¥|b÷:T^]Q€A9Ÿ:±I�#8Rö0)VR’Å>‘²‡•¢°³®þ‰•²ù$i7Kz»ï䤔 ¦À姘fµÚÖwíýΑâ‡ÝÃãÚ)^Pòò-ÅËŸ¼»6?1ß·”Ç/Г—šÓ… ¸x>ßóø@¬;>Û^;ñ�¢S鋨Îñ¨nÂZK´r%æL]SÕÉhT[r%ÍŸÈwr•²—ÁÝ]-6HQŠ‰<‡‰æ`Ë(_Å¡oÁü²9ãpíI)îòQü›ÓØî/Ü«easŸÈ±2Ý×m°Ðñ)Q»R¼—ËJ4eê‘l5.Êš‰Ê¸=ëÆŽ¨V�k¾›<„këΣ—í½�ò²Œ]�¨�Üyñ·|'Ú®sT-Ò î9_~{î°<ãRkŸ8«s¬_œÕ�j}=ñ|8ß¾\ë ΋°à@k¬x ·Qn£�•´lÒ¿]T½lŽ˜�ním…q éEÕÄ3ò«¬üºq¶Ø_+ÇQp_óÚ™ò.OZ{¡áÚ9ù쓵åõ¦�ݳx0ü±1YõÒúÁA…ÕÂò7�³6¶Ó´ìYjS;Ü÷F¨CjqÚ>þÕÛ-£Å;£-á0Е©ˆI¤å“Ò�žÄÈ�þƒ<£ÑÍÆ^ Qglà-<í¬ŒÖ*‘ѶÃIè@E!¦Š9Ç/K×+UáÈëŽ-Ê!þ¾ævÏ»óàsL¡¡6¾TqqM¾HkPÊ´-5š…eô< ò#4L'ý¬GÝ5Ž¦òHïùßR¢-0¥/´‚\gKoq$)�ûΟ�ï"V‘=;_QQÛ–/m�Ü5”$´EV½Q75W¬Ú™¶+„³ÐYÜxƒÕÓ›ôrBs¼†ßŠ5¨cí‘ècíÊ¿�E¤—SäØï‡áóÓtF¾O{Á1æâbûžQ„Æ$7ùŒëRå0D¬$qû„T9ìÓ„ÌÜJ�{ÏpQ�RÇ(ò©´úvêg¬S2µÒ¡–ÀW i.Øß ýþ…((êZð™ÎÉG:ÄÀŠÞv>2Öæ¤Ö˜[™–mV]<ùøu'L”´x÷Z†Y†O\ 2,ï=0BÖtÜ»QîŸP2�£D‹…šÕun×âÉ°ýò¢ì¨AƒG̃±3MÊÝpLŒµwC.Ç…PÑ9ÑÉbhØyL ò8@Î^éû”‰ËZ+bŒ�Ó`ÜüJcK±ÛYW37g»¸dêTêAþõw-kʵ�´!_ö}K^öŸß¸Ð5l…%»ù41ôÓANVûǘ·xsŽ4:Ì#’X˜”FìëvχÝ]HüY>ñM�¡«ÁÜÕöN›¤øƒ·�,Uã�9ÉÆ)›íx A.ÏðÏ“�§�»ÿÀy�2ôY‘Z=ÍâKmN½[·šB¢ün›p6«Œ$L³x^ÖG¬0éºÝ^ì‹n5wŒed rSá´mÀˆÒʬ¿±'ÿ~n{Ha]ÔÜeAuˆQ)B%ôNüÍÔŽæÉ8OmwO`ywÌŽë?H ´Û\¥ ±Å@«�ŠvuTeÒ j}Z{wÐ�ê™´2¯7Öu¯¼„VßÐÊ•ô‘·Àx»mtƒªÜÕ@÷M¦NŠ¾cóÉq…¢}I¨hÖ‚”§½yáùÉÞîÐUæîvj1±ë&ïvλÛm¶n§…¼Ùù.»ÙmVVÂÊQÊ'V–ò8×i� S)Kƒ‘ØVÊè:ºq¬µ ÔqÿÉrà�Í» |>•ÿŒkÁ^›Ý›¸¶‘>1ßgVÿûñÏÇÅéÅæɯÿþõøû?þu}ýõ¿Ç¾0ÈàzeAhˆ�Ù8ÁàV¿ù�õé’øå…Âb©‹üá\Tø21DáaÊ’úÙ‚Á7)èHuxD›õß ˆÝbóµ±²‘Û>Íè»yè$ÖlÐõ;Êú6ŸrÈ’}ˆeöZ7]¥ÚŸ&tÖ²mŠtúú?ßÕ‘Üï~…>@rx�¯þÿy;@Ò+ê"qŠ 0±§;xÿ)ÚVVuvŸ¥ £=ô“>뱞¯èhp®PÏÔòû€ ‚eÃ'“ðLqp&¡Ä~F&€'ËÞ2Î.dXRŽ—$™ä×4Go‚a9»TιßC¸} WÅ!H½~Ê{¯8¼Y¨TÞòî’ue€±ãÂ)xc’@-Ss�Ç"ÓôR MfÆçÔ¹DSœÑÉßõ\õqJ\Ÿ6Λç#}ô~ððÔåò–ñp>å›÷t‹ˆ<ÕèÑ®öíö�}á¸`¬!£Mû´ä|b3{#¡²Újzy\Ÿ %»oF=q}tàKån/î³Mf7Ý÷´õ6?¹¨š_3Y§Ñ¸.ÒyúXö[‚ó,/^®ñÁËI¸¾¤Îö†^DJõD<ûÄŸÙ±¶„ êH·m’ªÌœõ_žqø¥V.}}]-šõ»ÝðRpô8ÝæçÞùä1Ò—ìº1n‹ïµŽ�D߶¾ÓõÌ{Þßå½—¼«¯OÞ«æ¥ä<©¾vG*?·¸H_Z(Àèo‰HTnØrgâ]õ¬÷ìÎ6QªÊàòÔç|D.OÑ)Xjibáu›Ž¹wœz¿6^7>ež#2�„ c÷Ï\2%î'¢·v ×Ý�Ž8ŒF#�š×{¹sÿzZqYIùö^Ü'M¨|"†ÂûKK7ËÄnänËKÆù™‹™¤ uÕscêíªŒi½àªÖ"×·öu ÆDŒO6Và×Øþsô'‚Ž}“#ÑÅ•ŠŠxw¤‹_�_ÑàçÙÎ}¼®d3�žÙ¹›Ÿ7èžmÛÇ6¾²Ic½|†,…!†Ö‘“VÒ^S:÷X™Ëf¶IHaã…-LÃÏ�kx7/m�¦)ý�"lÒ–}p/RôNZÛ€öääüû°Âˆ°ÿ惹·IÒÌ$ìükúŠŸõKÁ`䈧�xv‹¼iÄÁÝò×ü�ƒ WdYà >B Íßæ×ý÷�€fhˆég®L1ÜßEÜ}°Â’LòÃ�ÜÅX†šÆn|³:e¸ “Ó™¿ßÚôCÐ\H’‡|Þæ�аkž{ˆ¼¶a5ö%,ìXµ°tö|‹6|þr—òr¯Y«Â€šmXщLºìTà+ª³ì“LlêCE2Éšt -â.Z÷7�~*ŒFguVµ ‘aäRNíhí……ø€½ƒxSX6Ë#SçGÖðÙ @{Jû¨9ZM½Ã¢å‰'&—ó T>³Úê™Ùux.?3tÑ¿cÓã®q†#£�¶F›Ó—ãÒÁ‚é YDô ·°¦j"M´FĹ0 a[i ¡ùÛj †n§µë™ùL%Bcê™Þó‘!™rhÒšø}† Y�6y}~»ìoBŸåïòˆ{ÓÔ3µ˜V �m]øÉuo @‰¸x'W‘=jXcìCX ùñðÙÙmgÑƲd¥yV-~H¢"¸%ëä—-ðœ ÈŸ:g“ÖÞÒyGm xd‹Y]ì¹7våÖ’QúznÇ»bùŠwö·Þ7^²€vHéó«÷Ô9ˆIïQÔ )ÄýAöõªËÔŽF¯ Î�éŒäXÂú©ékUà²$-¨£öÈ)Æõ°Z°‹�»·Œ°¸dùDuùm •Yll¢Õ[ÿ_½ÕÕµc>PùŒÃ»45�K’=ÒMµä�6 ¡j—1ȇNÜ£öS™Ï1ü°&RÂÂÇšhâö¯1\à}â¾!�Pð×®Cžýp›T®6{-תP¾�¤ø©·ž¦¾ëφ&a¸}ù¶¼î0€Qßá3Ö™¾œ ÆÉ4Ï`(¹m×—�²ÓKzýÊôÏàRC— �v³UÜ`$œŠC<ïD2âO‘ä »@I›ÿ�$=ƒÐJaÅnqF/šå5õmßõ è¢D
Hairatul Aswad, NIM. 01540663 (2007) PERILAKU KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MISKIN KOTA. Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.
Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang selalu dialami setiap negara. Kemiskinan terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda. Masyarakat Pedak Baru merupakan salah satu potret masyarakat miskin kota, hal ini ditandai dengan perkampungan kumuh, rumah yang berpetak-petak, lingkungan yang kurang sehat serta berbagai kriteria yang lain. Keberagamaan masyarakat Pedak baru tidak jauh beda dengan masyarakat yang lain, namun hal yang menarik karena perkampungan ini dihuni oleh para pendatang dengan corak keberagamaan yang berbeda dan keberadaan komunitas mahasiswa UIN yang nierupakan mahasiswa yang berasal dari lembaga pendidikan Islam. Letak kampung Pedak Baru yang bersebelahan dengan kampus UIN Sunan Kalijaga yang berlebel Islam, menyebabkan kampung ini banyak dihuni oleh mahasiswa. Keberadaan para mahasiswa menyebabkan terjadinya interaksi sesama warga. Proses interaksi ini dapat mempengaruhi serta menimbulkan perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Pedak Baru, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun perilaku keberagamaan mereka. Oleh karena itu penulis merumuskan dua masalah mengenai perilaku keberagamaan masyarakat miskin kota di Pedak Baru, interaksi sosial serta perubahan · yang terjadi pada masyarakat miskin kota di Pedak Baru setelah adanya interaksi dengan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi fungsional, yang mana teori ini memandang bahwa masyarakat sebagai suatu lembaga yang berada dalam keseimbangan, yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Kajian ini juga memakai metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik obserYasi, wawancara dan studi kepustakaan. Kemudian dilanjutkan dengan dengan teknik deskriftif yang bertujuan untuk menuturkan dan menafsirkan data-data yang telah ada. Perilaku keberagamaan Pada masyarakat Pedak Baru, di kategorikan menjadi dua aspek penting yaitu perilaku mereka yang berhubungan dengan tuhan (hubungan Vertikal) dan perilaku mereka dalam menerapkan nilai-nilai agama dalam menghadapi kemiskinan. Adapun proses interaksi masyarakat Pedak Baru dengan mahasiswa UIN terjalin melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh para mahasiswa. Proses interaksi tersebut mengalami proses yang asosiatif melalui akomodasi dan asimilasi. Dan perubahan perilaku keberagamaan yang dialami oleh masyarakat Pedak Baru mengalami perubahan yang kecil dalam berbagai aspek kehidupan, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan keagamaan, kurangnya kesadaran masyarakat serta belum optimalnya peran rnahasiswa.
Share this knowledge with your friends :
Actions (login required)
Sulaiman 06 Mei 2023 07:02:19 WITA
Suwanto 01 Februari 2022 19:05:38 WITA
wiji lestari 22 Desember 2021 10:44:36 WITA
Suwarno 27 Agustus 2021 08:20:25 WITA
rahman 23 Maret 2021 09:30:39 WITA
Maryani 07 Maret 2021 16:10:20 WITA
25 Februari 2021 07:08:36 WITA
Mustiar 21 Agustus 2020 11:27:56 WITA
Sjahril Noekman 07 Agustus 2020 07:52:24 WITA